Rabu, 03 Oktober 2018

Cerpen Mitologi Bujang Nadi Dare Nandung


Cerpen Mitologi



Bujang Nadi Dare Nandung  
Setiap hari, Dea selalu diantar oleh kakak laki-lakinya untuk pergi kuliah.
“Kakakmu belum menikah ya, Dea?” tanya Sri.
“Belum. Dia pernah bilang, hanya akan menikah kalau sudah bertemu dengan gadis seperti aku.”
 “Wah … kalian ini mau jadi Bujang Nadi dan Dare Nandung versi zaman now, ya? Hahaha,” Sri berkata sambil cekikikan memandang Dea yang tampak bingung.
“Siapa itu Bujang Nadi dan Dare Nandung?” Dea balik menatap Sri, seraya mengernyitkan dahi tanda penasaran.
Bukannya menjawab rasa penasaran Dea, Sri malah mengajak Dea untuk ikut pulang kampung bersamanya. Sri menjanjikan kepada Dea akan menceritakan kisah Bujang Nadi Dare Nandung kalau Dea mau ikut bersamanya. Kebetulan, hari ini adalah hari terakhir ujian akhir semester ganjil di kampus mereka. Rencananya, lusa Sri akan pulang ke kampung halamannya di Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas.
“Hmm….gimana ya…. Besok  deh aku kabarin lagi. Aku harus izin dulu sama ortu-ku.”
Sri dan Dea adalah mahasiswi keguruan di salah satu universitas ternama di Pontianak. Mereka sudah saling kenal sejak dua tahun yang lalu. Keduanya pun sudah sering menghabiskan waktu bersama, baik di kampus maupun di luar kampus.
“Udah mau masuk, nih, yuk kita ke kelas,” ajak Dea sambil menarik lengan Sri yang tampak serius membolak-balik lembaran fotokopi materi yang akan diujikan sebentar lagi.
Halte kampus tiba-tiba kosong, ditinggal penghuninya masuk ke kelas masing-masing.      
***
Hujan deras membuat sopir travel yang dinaiki Sri dan Dea tak berani melaju kencang saat membelah jalan Kota Khatulistiwa. Lagu dari Tulus yang diputar dengan volume tidak terlalu keras membuat para penumpang hanyut dalam lamunan. Tak terkecuali Dea yang sedari tadi duduk bertopang dagu, sambil melihat ke arah luar jendela mobil. Dia tampak anggun dengan hijab berwarna peach yang dikenakannya, dengan lipstick yang senada di bibirnya. Sri yang duduk di sebelahnya sedang asyik mengobrol dengan penumpang lainnya. Bosan mengobrol dengan penumpang yang duduk di sebelahnya, dia berpindah ke penumpang di depannya. Bahkan, sopir pun tak luput dari sasaran ocehannya.
Dua jam perjalanan pertama, suasana di dalam mobil masih ramai. Ketika hari sudah mulai gelap, hanya tersisa suara penumpang yang duduk di depan sedang berbincang dengan sopir. Sementara, yang lainnya menikmati perjalanan dengan mata terpejam.
“Bang, udah sampai mana ini?” tanya Sri sambil merapikan hijabnya dan mengusap kedua belah matanya.
“Baru sampai Singkawang, Dek.”
Dilihatnya Dea yang duduk di sebelah kirinya masih tertidur pulas. Ibu paruh baya yang berada di sebelah kanannya sedang menerima telepon. Suara ibu inilah yang tadi membangunkan Sri.
Satu jam kemudian, mereka tiba di rumah Sri. Ayah dan ibu Sri ternyata sudah menunggu kedatangan mereka sejak tadi. Dengan wajah lesu karena baru bangun tidur, Dea menyalami orang tua Sri.
Diletakkannya barang bawaannya di kamar dan langsung membaringkan tubuhnya di kasur. Kondisi fisik Dea yang berpostur mungil ini memang lemah. Karena alasan inilah, dia jarang berpergian tanpa ditemani kakak laki-lakinya. Beruntungnya, kali ini Sri yang mengajak. Keluarga Dea sudah kenal baik dan percaya kepada Sri, sehingga Dea pun bisa pergi sendiri tanpa meninggalkan kekhawatiran pada keluarganya.
Makan yang banyyak iiii…Usah supan be anggap jak rumah sorang,” ujar ibu Sri dengan bahasa Melayu Sambas, sambil menepuk bahu kanan Dea.
Dea hanya membalasnya dengan senyuman. Dea juga dikenal sebagai gadis yang pemalu, jauh berbeda dengan Sri. Sri adalah gadis super PD. Dengan siapa pun dia bisa bergaul dan kalau dia sedang berbicara, jangan harap punya kesempatan untuk membuka mulut. Hahaha.
Setelah makan malam, mereka memilih masuk ke kamar untuk beristirahat lebih awal. Lelah akibat perjalanan jauh selama 5 jam semakin terasa. Mata mereka sudah mulai berat. Kini yang diinginkan kedua gadis itu hanyalah bantal dan kasur.
“Sri … Sri …,” Dea membangunkan Sri yang tidur membelakanginya.
“Ada apa, Dea?” tanya Sri dengan mata yang masih belum sempurna terbuka.
“Aku mau buang air kecil. Temani aku, yuk. Aku enggak berani sendirian.”
Sebenarnya, sudah sejak tadi Dea menahan rasa ingin buang air kecil karena takut.  Dia bermaksud menahannya sampai esok pagi, tapi ternyata dia tidak kuat. Dengan terpaksa, dia membangunkan Sri yang sedang tertidur untuk menemaninya ke WC.
Sepulang mengantar Dea, Sri kembali melanjutkan tidurnya. Sudah dua bulan dia tidak tidur di kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak besar memang, tapi kamar inilah yang selalu dirindukan Sri saat merantau kuliah ke kota. Di sinilah tempat favoritnya untuk melepaskan lelah setelah seharian beraktivitas.
Dea berbaring dan terdiam sesaat sambil memandang langit-langit kamar Sri yang berwarna seperti papan catur. Entah mengapa rasa kantuknya sekarang hilang. Tangannya mencoba meraih handphone yang ada di atas meja di sisi kanannya. Dilihatnya foto-foto dirinya yang ada di galeri handphone. Sepuluh menit berlalu, matanya justru semakin segar. Selain jarang berpergian, Dea juga hampir tidak pernah menginap di rumah teman. Dia perlu beradaptasi untuk tidur di kamar yang bukan kamarnya sendiri.
Jari jemari Dea yang dari tadi berselancar di layar ponsel, berhenti seketika. Badannya ikut membeku, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Untuk menoleh pun dia tak sanggup. Ibarat sedang bermain game, pemain sedang menekan tombol pause selama lima detik. Suara aneh dari luar rumahlah yang membuat dia seperti itu.
Dia tersadar harus melakukan sesuatu. Ditariknya selimut untuk menutupi seluruh wajahnya. Tangannya mulai bergetar dan mencengkram erat ujung selimut. Tubuhnya mulai berkeringat, pikirannya benar-benar kacau dan kini dia benar-benar takut. Dia tak berani lagi untuk membangunkan Sri. Ditariknya nafas dalam-dalam untuk mengurangi rasa takutnya.
“Ya Allah, suara itu. Lindungi aku, ya Allah. Aku benar-benar takut,” Dea berkata dalam hati.
Dipejamkannya kedua matanya kuat-kuat. Dipaksanya untuk tertidur dan mengabaikan suara apa pun yang terdengar oleh telinganya. Di dalam pikirannya sekarang, dia hanya ingin cepat tertidur dan cepat bertemu pagi.
***
“Sri, nyenyak sekali tidurmu tadi malam, ya?”
“Ya iyalah. Aku kalau tidur di kamarku selalu nyenyak. Hehee. Kamu gimana?”
“Aku … aku …,” jawab Dea terbata-bata.
“Dea, kamu kenapa? Kayak orang habis ketemu setan saja.”
“Semalam setelah buang air kecil, aku mendengar suara kokok ayam jantan. Apa kejadian seperti itu sudah biasa terjadi di sini?”
Sri tersenyum sambil mengangguk. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan Dea. Aroma dari secangkir kopi buatan Ibu yang ada di hadapannya lebih menarik perhatiannya. Diseruputnya kopi hangat itu dengan nikmat. Sri kembali menoleh ke arah Dea.
“Ya … semalam adalah malam Jumat. Setiap malam Jumat memang terkadang akan ada suara aneh seperti kokok ayam jantan dan suara orang yang sedang menenun. Suara itu berasal dari makam Bujang Nadi Dare Nandung.”
Sri kembali menyeruput kopinya untuk yang kedua kalinya. Belum sempat Sri melanjutkan penjelasannya, ibunya yang dari tadi mendengar pembicaraan mereka dari ruang keluarga, tiba-tiba muncul.
“Bujang Nadi dan Dare Nandung adalah saudara kandung. Mereka anak dari Raja Sambas yang bernama Tan Nunggal yang sangat kejam. Mereka dikubur hidup-hidup atas perintah ayah mereka sendiri,” cerita Ibu Sri yang kini sudah berada duduk di hadapan Sri dan Dea di ruang tamu.
Dea terkejut mendengar kalimat terakhir yang dikatakan oleh ibu Sri. Dia menyimpulkan, suara yang mengganggu tidurnya semalam adalah arwah Bujang Nadi dan Dare Nandung.
“Kenapa mereka dikubur hidup-hidup? Apa mereka melakukan kesalahan yang begitu fatal?” tanya Dea dengan wajah yang semakin penasaran. Sekarang, giliran Sri yang menjelaskan.
“Mereka hanyalah korban kesalahpahaman. Suatu hari, mereka sedang membicarakan tentang pernikahan dan tak sengaja didengar oleh para hulubalang. Bujang Nadi berikrar, ia hanya akan menikah jika bertemu dengan gadis yang rupa dan hatinya seperti Dare Nandung dan begitu pun sebaliknya. Para hulubalang mengira bahwa mereka berdua saling mencintai dan segera melaporkan hal itu kepada Raja Tan Nunggal. Raja sangat murka pada saat itu.”
“Lalu mereka dikubur hidup-hidup? Lalu, apa hubungannya suara kokok ayam jantan semalam dengan cerita ini?”
“Semasa hidupnya, Bujang Nadi dan Dare Nandung tidak diizinkan untuk bergaul dengan rakyat biasa. Sehari-hari, Bujang Nadi bermain dengan ayam jantannya, sedangkan Dare Nandung asyik menenun dengan mesin tenun emas pemberian ayahnya. Saat dikubur hidup-hidup, ayam jantan dan mesin tenun tersebut ikut bersama tuannya,” tambah ibu Sri. Dea seperti mendengar kisah drama di radio yang sempat hits pada tahun 90-an.
Nah, sekarang kamu sudah tahu kan kisah Bujang Nadi Dare Nandung? Sudah enggak penasaran lagi kan?”
“Iya, Sri, kisah tragis yang berujung mistis. Dikubur hidup-hidup karena korban fitnah.”
“Kamu mau enggak berkunjung ke makam mereka? Mumpung ada di sini, sekalian aja mampir. Aku dan Ibu siap mengantarmu ke sana, iya kan, Bu?”
Belum sempat Ibu mengiyakan Sri, Dea segera menolak ajakan Sri.
“Enggak ah, Sri. Lebih baik kamu ajak aku ke tempat lain saja,” dengan wajah sedikit ketakutan, Dea menolak ajakan Sri.
“Kamu takut ya …? Ayo ngaku!” dengan tatapan jahil, Sri mengarahkan jari telunjuknya ke arah Dea.
“Ihhh … siapa yang takut? Aku cuma khawatir, kalau kita ke sana, Bujang Nadi malah naksir sama aku,”  gurau Dea.
“Hush! Hati-hati kalau bicara, bisa-bisa jadi kenyataan,” Ibu mengingatkan dengan wajah serius.
Seisi ruang tamu menjadi hening. Sri dan Dea spontan terdiam. Mereka saling bertukar pandang, bibir mereka tak mampu berujar sepatah kata pun. Ketakutan terlihat jelas di raut wajah mereka. Ibu berlalu meninggalkan mereka di ruang tamu. 
Tujuh hari berlalu, Dea masih dibayang-bayangi oleh kisah Bujang Nadi Dare Nandung. Sejak kepulangannya dari Tebas tiga hari lalu, hanya satu malam saja dia berani tidur sendirian di kamarnya. Malam-malam berikutnya, dia lebih memilih tidur berdua dengan Mbak Sumi, pembantunya.
Ketakutan Dea bukan tanpa alasan, Ia masih mendengar suara kokok ayam jantan di tengah malam. Belakangan, Dea juga sering didatangi oleh Bujang Nadi dalam mimpi. Dea menceritakan kejadian ini kepada Sri. Sri lalu bertanya kepada ibunya untuk mencari solusinya.
Ponsel Dea berdering, nama Sri tertulis di layar. Segera Dea menjawab panggilan dari Sri.
“Aku sudah memberitahu ibuku tentangmu. Ibu menyarankan agar kamu datang ke makam Bujang Nadi Dare Nandung untuk meminta maaf.”
“Apa??! Aku harus ke makam untuk minta maaf?! Aku salah apa?” mata Dea membelalak rasa tak percaya.
“Iya, Dea. Apa kamu lupa? Kamu pernah berkata yang tidak pantas tentang Bujang Nadi. Kamu harus mempertanggungjawabkan ini semua.”
Dea sadar atas ucapannya ketika itu. Dia terdiam dan mengakhiri sambungan telepon dari Sri.
Keesokan harinya, Dea, Sri dan ibunya Sri sudah berada di makam Bujang Nadi Dare Nandung. Makam ini berada di salah satu bukit di kawasan Danau Sebedang. Untuk menaiki bukit tersebut, mereka harus melewati 150 anak tangga yang terbuat dari beton. Makam dikelilingi oleh  kayu yang dicat berwarna kuning. Di sana, mereka berziarah, mengirimkan doa untuk Bujang Nadi Dare Nandung. Dea tampak khusyuk duduk di pinggir makam sambil membaca doa di buku doa yang dibawanya.
Dua hari berlalu, hidup Dea sudah kembali normal. Tidak ada lagi suara aneh dan mimpi menghantui tidurnya. Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Hari ketiga, Bujang Nadi datang kembali dalam mimpi Dea. Yang lebih menyeramkan lagi, dalam mimpinya Bujang Nadi berniat untuk mempersunting Dea. Bujang Nadi beranggapan bahwa Dea adalah sosok wanita yang mirip sekali dengan adiknya yaitu, Dare Nandung.
“Tidaaak …! Pergi kamu …!! Pergi …!!”
“Dek, bangun, Dek,” Mbak Sumi mengguncang tubuh Dea berkali-kali, berusaha menyadarkan Dea dari mimpinya.
“Mbak Sumi ... aku takut …,” Dea memeluk Mbak Sumi dan membenamkan wajahnya di bahu Mbak Sumi. Isak tangisnya masih samar-samar terdengar. Mbak Sumi terus mendekap Dea sambil melafalkan beberapa doa untuk menenangkannya.
Meskipun Dea sudah meminta maaf dan berziarah ke makam Bujang Nadi dan Dare Nandung, Bujang Nadi tetap saja hadir dalam mimpinya. Entah sampai kapan Dea akan dihantui oleh arwah Bujang Nadi. Sri merasa bersalah atas semua yang menimpa Dea.


TAMAT



Tidak ada komentar:

Posting Komentar