Cerpen Mitologi
Bujang Nadi Dare Nandung
Setiap
hari, Dea selalu diantar oleh kakak laki-lakinya untuk pergi kuliah.
“Kakakmu
belum menikah ya, Dea?” tanya Sri.
“Wah … kalian ini mau jadi Bujang Nadi dan
Dare Nandung versi zaman now, ya? Hahaha,”
Sri berkata sambil cekikikan memandang Dea yang tampak bingung.
“Siapa
itu Bujang Nadi dan Dare Nandung?” Dea balik menatap Sri, seraya mengernyitkan
dahi tanda penasaran.
Bukannya
menjawab rasa penasaran Dea, Sri malah mengajak Dea untuk ikut pulang kampung
bersamanya. Sri menjanjikan kepada Dea akan menceritakan kisah Bujang Nadi Dare
Nandung kalau Dea mau ikut bersamanya. Kebetulan, hari ini adalah hari terakhir
ujian akhir semester ganjil di kampus mereka. Rencananya, lusa Sri akan pulang
ke kampung halamannya di Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas.
“Hmm….gimana ya…. Besok deh
aku kabarin lagi. Aku harus izin dulu sama ortu-ku.”
Sri
dan Dea adalah mahasiswi keguruan di salah satu universitas ternama di
Pontianak. Mereka sudah saling kenal sejak dua tahun yang lalu. Keduanya pun
sudah sering menghabiskan waktu bersama, baik di kampus maupun di luar kampus.
“Udah
mau masuk, nih, yuk kita ke kelas,” ajak
Dea sambil menarik lengan Sri yang tampak serius membolak-balik lembaran
fotokopi materi yang akan diujikan sebentar lagi.
Halte
kampus tiba-tiba kosong, ditinggal penghuninya masuk ke kelas masing-masing.
***
Hujan
deras membuat sopir travel yang dinaiki
Sri dan Dea tak berani melaju kencang saat membelah jalan Kota Khatulistiwa. Lagu
dari Tulus yang diputar dengan volume tidak terlalu keras membuat para
penumpang hanyut dalam lamunan. Tak terkecuali Dea yang sedari tadi duduk
bertopang dagu, sambil melihat ke arah luar jendela mobil. Dia tampak anggun
dengan hijab berwarna peach yang
dikenakannya, dengan lipstick yang
senada di bibirnya. Sri yang duduk di sebelahnya sedang asyik mengobrol dengan
penumpang lainnya. Bosan mengobrol dengan penumpang yang duduk di sebelahnya,
dia berpindah ke penumpang di depannya. Bahkan, sopir pun tak luput dari
sasaran ocehannya.
Dua
jam perjalanan pertama, suasana di dalam mobil masih ramai. Ketika hari sudah
mulai gelap, hanya tersisasuara penumpang
yang duduk di depan sedang berbincang dengan sopir. Sementara, yang lainnya
menikmati perjalanan dengan mata terpejam.
“Bang,
udah sampai mana ini?” tanya Sri
sambil merapikan hijabnya dan mengusap kedua belah matanya.
“Baru
sampai Singkawang, Dek.”
Dilihatnya
Dea yang duduk di sebelah kirinya masih tertidur pulas. Ibu paruh baya yang
berada di sebelah kanannya sedang menerima telepon. Suara ibu inilah yang tadi membangunkan
Sri.
Satu
jam kemudian, mereka tiba di rumah Sri. Ayah dan ibuSri
ternyata sudah menunggu kedatangan mereka sejak tadi. Dengan wajah lesu karena
baru bangun tidur, Dea menyalami orang tua Sri.
Diletakkannya
barang bawaannya di kamar dan langsung membaringkan tubuhnya di kasur. Kondisi
fisik Dea yang berpostur mungil ini memang lemah. Karena alasan inilah, dia
jarang berpergian tanpa ditemani kakak laki-lakinya. Beruntungnya, kali ini Sri
yang mengajak. Keluarga Dea sudah kenal baik dan percaya kepada Sri, sehingga
Dea pun bisa pergi sendiri tanpa meninggalkan kekhawatiran pada keluarganya.
“Makan yang banyyak iiii…Usah supan be anggap
jak rumah sorang,” ujar ibu Sri dengan bahasa Melayu Sambas, sambil menepuk
bahu kanan Dea.
Dea
hanya membalasnya dengan senyuman. Dea juga dikenal sebagai gadis yang pemalu,
jauh berbeda dengan Sri. Sri adalah gadis super PD. Dengan siapa pun dia bisa
bergaul dan kalau dia sedang berbicara, jangan harap punya kesempatan untuk
membuka mulut. Hahaha.
Setelah
makan malam, mereka memilih masuk ke kamar untuk beristirahat lebih awal. Lelah
akibatperjalanan jauh selama 5 jam
semakin terasa. Mata mereka sudah mulai berat. Kini yang diinginkan kedua gadis
itu hanyalah bantal dan kasur.
“Sri
… Sri …,” Dea membangunkan Sri yang tidur membelakanginya.
“Ada
apa, Dea?” tanya Sri dengan mata yang masih belum sempurna terbuka.
“Aku
mau buang air kecil. Temani aku, yuk.
Aku enggak berani sendirian.”
Sebenarnya,
sudah sejak tadi Dea menahan rasa ingin buang air kecil karena takut. Dia bermaksud menahannya sampai esok pagi,
tapi ternyata dia tidak kuat. Dengan terpaksa, dia membangunkan Sri yang sedang
tertidur untuk menemaninya ke WC.
Sepulang
mengantar Dea, Sri kembali melanjutkan tidurnya. Sudah dua bulan dia tidak
tidur di kamar berukuran 3x4 meter ini. Tidak besar memang, tapi kamar inilah
yang selalu dirindukan Sri saat merantau kuliah ke kota. Di sinilah tempat
favoritnya untuk melepaskan lelah setelah seharian beraktivitas.
Dea
berbaring dan terdiam sesaat sambil memandang langit-langit kamar Sri yang
berwarna seperti papan catur. Entah mengapa rasa kantuknya sekarang hilang.
Tangannya mencoba meraih handphone
yang ada di atas meja di sisi kanannya. Dilihatnya foto-foto dirinya yang ada
di galeri handphone. Sepuluh menit
berlalu, matanya justru semakin segar. Selain jarang berpergian, Dea juga
hampir tidak pernah menginap di rumah teman. Dia perlu beradaptasi untuk tidur
di kamar yang bukan kamarnya sendiri.
Jari
jemari Dea yang dari tadi berselancar di layar ponsel, berhenti seketika.
Badannya ikut membeku, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Untuk
menoleh pun dia tak sanggup. Ibarat sedang bermain game, pemain sedang menekan tombol pause selama lima detik. Suara aneh dari luar rumahlah yang membuat
dia seperti itu.
Dia
tersadar harus melakukan sesuatu. Ditariknya selimut untuk menutupi seluruh
wajahnya. Tangannya mulai bergetar dan mencengkram erat ujung selimut. Tubuhnya
mulai berkeringat, pikirannya benar-benar kacau dan kini dia benar-benar takut.
Dia tak berani lagi untuk membangunkan Sri. Ditariknya nafas dalam-dalam untuk
mengurangi rasa takutnya.
“Ya
Allah, suara itu. Lindungi aku, ya Allah. Aku benar-benar takut,” Dea berkata
dalam hati.
Dipejamkannya
kedua matanya kuat-kuat. Dipaksanya untuk tertidur dan mengabaikan suara apa pun
yang terdengar oleh telinganya. Di dalam pikirannya sekarang, dia hanya ingin
cepat tertidur dan cepat bertemu pagi.
***
“Sri,
nyenyak sekali tidurmu tadi malam, ya?”
“Ya
iyalah. Aku kalau tidur di kamarku selalu nyenyak. Hehee. Kamu gimana?”
“Aku
… aku …,” jawab Dea terbata-bata.
“Dea,
kamu kenapa? Kayak orang habis ketemu setan saja.”
“Semalam
setelah buang air kecil, aku mendengar suara kokok ayam jantan. Apa kejadian
seperti itu sudah biasa terjadi di sini?”
Sri
tersenyum sambil mengangguk. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan Dea. Aroma
dari secangkir kopi buatan Ibu yang ada di hadapannya lebih menarik
perhatiannya. Diseruputnya kopi hangat itu dengan nikmat. Sri kembali menoleh
ke arah Dea.
“Ya
… semalam adalah malam Jumat. Setiap malam Jumat memang terkadang akan ada
suara aneh seperti kokok ayam jantan dan suara orang yang sedang menenun. Suara
itu berasal dari makam Bujang Nadi Dare Nandung.”
Sri
kembali menyeruput kopinya untuk yang kedua kalinya. Belum sempat Sri
melanjutkan penjelasannya, ibunya yang dari tadi mendengar pembicaraan mereka
dari ruang keluarga, tiba-tiba muncul.
“Bujang
Nadi dan Dare Nandung adalah saudara kandung. Mereka anak dari Raja Sambas yang
bernama Tan Nunggal yang sangat kejam. Mereka dikubur hidup-hidup atas perintah
ayah mereka sendiri,” cerita Ibu Sri yang kini sudah berada duduk di hadapan
Sri dan Dea di ruang tamu.
Dea
terkejut mendengar kalimat terakhir yang dikatakan oleh ibu Sri. Dia
menyimpulkan, suara yang mengganggu tidurnya semalam adalah arwah Bujang Nadi
dan Dare Nandung.
“Kenapa
mereka dikubur hidup-hidup? Apa mereka melakukan kesalahan yang begitu fatal?” tanya
Dea dengan wajah yang semakin penasaran. Sekarang, giliran Sri yang
menjelaskan.
“Mereka
hanyalah korban kesalahpahaman. Suatu hari, mereka sedang membicarakan tentang
pernikahan dan tak sengaja didengar oleh para hulubalang. Bujang Nadi berikrar,
ia hanya akan menikah jika bertemu dengan gadis yang rupa dan hatinya seperti
Dare Nandung dan begitu pun sebaliknya. Para hulubalang mengira bahwa mereka
berdua saling mencintai dan segera melaporkan hal itu kepada Raja Tan Nunggal.
Raja sangat murka pada saat itu.”
“Lalu
mereka dikubur hidup-hidup? Lalu, apa hubungannya suara kokok ayam jantan
semalam dengan cerita ini?”
“Semasa
hidupnya, Bujang Nadi dan Dare Nandung tidak diizinkan untuk bergaul dengan
rakyat biasa. Sehari-hari, Bujang Nadi bermain dengan ayam jantannya, sedangkan
Dare Nandung asyik menenun dengan mesin tenun emas pemberian ayahnya. Saat
dikubur hidup-hidup, ayam jantan dan mesin tenun tersebut ikut bersama tuannya,”
tambah ibu Sri. Dea seperti mendengar kisah drama di radio yang sempat hits pada tahun 90-an.
“Nah, sekarang kamu sudah tahu kan kisah
Bujang Nadi Dare Nandung? Sudah enggak penasaran lagi kan?”
“Iya,
Sri, kisah tragis yang berujung mistis. Dikubur hidup-hidup karena korban
fitnah.”
“Kamu
mau enggak berkunjung ke makam mereka? Mumpung ada di sini, sekalian aja mampir. Aku dan Ibu siap mengantarmu
ke sana, iya kan, Bu?”
Belum
sempat Ibu mengiyakan Sri, Dea segera menolak ajakan Sri.
“Enggak
ah, Sri. Lebih baik kamu ajak aku ke
tempat lain saja,” dengan wajah sedikit ketakutan, Dea menolak ajakan Sri.
“Kamu
takut ya …? Ayo ngaku!” dengan tatapan jahil, Sri mengarahkan jari telunjuknya
ke arah Dea.
“Ihhh
… siapa yang takut? Aku cuma khawatir, kalau kita ke sana, Bujang Nadi malah
naksir sama aku,” gurau Dea.
“Hush!
Hati-hati kalau bicara, bisa-bisa jadi kenyataan,” Ibu mengingatkan dengan
wajah serius.
Seisi
ruang tamu menjadi hening. Sri dan Dea spontan terdiam. Mereka saling bertukar
pandang, bibir mereka tak mampu berujar sepatah kata pun. Ketakutan terlihat
jelas di raut wajah mereka. Ibu berlalu meninggalkan mereka di ruang tamu.
Tujuh
hari berlalu, Dea masih dibayang-bayangi oleh kisah Bujang Nadi Dare Nandung. Sejak
kepulangannya dari Tebas tiga hari lalu, hanya satu malam saja dia berani tidur
sendirian di kamarnya. Malam-malam berikutnya, dia lebih memilih tidur berdua
dengan Mbak Sumi, pembantunya.
Ketakutan
Dea bukan tanpa alasan, Ia masih mendengar suara kokok ayam jantan di tengah
malam. Belakangan, Dea juga sering didatangi oleh Bujang Nadi dalam mimpi. Dea
menceritakan kejadian ini kepada Sri. Sri lalu bertanya kepada ibunya untuk
mencari solusinya.
Ponsel
Dea berdering, nama Sri tertulis di layar. Segera Dea menjawab panggilan dari
Sri.
“Aku
sudah memberitahu ibuku tentangmu. Ibu menyarankan agar kamu datang ke makam
Bujang Nadi Dare Nandung untuk meminta maaf.”
“Apa??!
Aku harus ke makam untuk minta maaf?! Aku salah apa?” mata Dea membelalak rasa
tak percaya.
“Iya,
Dea. Apa kamu lupa? Kamu pernah berkata yang tidak pantas tentang Bujang Nadi.
Kamu harus mempertanggungjawabkan ini semua.”
Dea
sadar atas ucapannya ketika itu. Dia terdiam dan mengakhiri sambungan telepon
dari Sri.
Keesokan
harinya, Dea, Sri dan ibunya Sri sudah berada di makam Bujang Nadi Dare
Nandung. Makam ini berada di salah satu bukit di kawasan Danau Sebedang. Untuk
menaiki bukit tersebut, mereka harus melewati 150 anak tangga yang terbuat dari
beton. Makam dikelilingi oleh kayu yang
dicat berwarna kuning. Di sana, mereka berziarah, mengirimkan doa untuk Bujang
Nadi Dare Nandung. Dea tampak khusyuk duduk di pinggir makam sambil membaca doa
di buku doa yang dibawanya.
Dua
hari berlalu, hidup Dea sudah kembali normal. Tidak ada lagi suara aneh dan
mimpi menghantui tidurnya. Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Hari ketiga,
Bujang Nadi datang kembali dalam mimpi Dea. Yang lebih menyeramkan lagi, dalam
mimpinya Bujang Nadi berniat untuk mempersunting Dea. Bujang Nadi beranggapan
bahwa Dea adalah sosok wanita yang mirip sekali dengan adiknya yaituare Nandung.
“Tidaaak
…! Pergi kamu …!! Pergi …!!”
“Dek,
bangun, Dek,” Mbak Sumi mengguncang tubuh Dea berkali-kali, berusaha
menyadarkan Dea dari mimpinya.
“Mbak
Sumi ... aku takut …,” Dea memeluk Mbak Sumi dan membenamkan wajahnya di bahu
Mbak Sumi. Isak tangisnya masih samar-samar terdengar. Mbak Sumi terus mendekap
Dea sambil melafalkan beberapa doa untuk menenangkannya.
Meskipun
Dea sudah meminta maaf dan berziarah ke makam Bujang Nadi dan Dare Nandung,
Bujang Nadi tetap saja hadir dalam mimpinya. Entah sampai kapan Dea akan
dihantui oleh arwah Bujang Nadi. Sri merasa bersalah atas semua yang menimpa
Dea.
TAMAT